LensaHukum.co.id – DKI Jakarta.
Banyaknya jumlah Rumah Sakit (RS) Swasta yang menolak pasien BPJS diduga dikarenakan tarif INA CBG (Indonesia Case Base Groups) yang tidak sesuai. Karena hal itulah maka pihak RS Swasta lantas berpikir dua kali saat pasien BPJS datang. Apalagi, seluruh aset dan pengeluaran RS Swasta memang dibiayai sendiri alias secara mandiri.
Di samping itu, menengok ke UU BPJS, memang dijelaskan bahwa RS Swasta tidak wajib menjadi provider atau penyedia layanan BPJS Kesehatan. Hal ini yang menjadi akar permasalahan mengapa pasien BPJS ditolak dan terlantar. Padahal, menurut Indra Munaswar selaku Koordinator BPJS Watch, UU tersebut bertentangan dengan isi UU Rumah Sakit, yang melarang RS manapun menolak pasien yang datang.
Lantas, seperti apa cara untuk menyelesaikan masalah ini? Harusnya, pemerintah ikut bertanggung jawab dan melakukan langkah nyata dalam menciptakan sinergi antara peraturan yang berlaku. Pemerintah pun perlu “menagih” kewajiban RS terhadap masyarakat. Lewat Menteri Kesehatan, pemerintah dituntut untuk mengajak pihak RS Swasta agar bersedia bekerjasama dengan BPJS Kesehatan secara terbuka.
Selama ini, pemerintah lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berkali-kali menyatakan bahwa mereka sudah duduk bersama dan membahas isu ini dengan para stakeholder RS Swasta. Akan tetapi, nampaknya tercapainya kesepakatan tarif mutlak yang memadai untuk pihak swasta nampaknya diragukan. Dan isu lainnya yang harus diselesaikan dan dicapai solusinya adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) mengenai tarif INA CBG yang oleh pihak RS Swasta selama ini dipandang terlalu rendah serta tak mampu memberikan profit. Sebab, berbeda dengan RS Pemerintah yang seluruh pengeluarannya ditanggung oleh negara, RS Swasta mengusahakan sendiri seluruh kapitalnya. Akibatnya, cost yang dikeluarkan pun lebih tinggi.
Permenkes ini pun bertentangan dengan UU yang menjelaskan bahwa besaran biaya seharusnya disepakati oleh BPJS dengan pihak asosiasi fasilitas kesehatan (faskes) daerah setempat. Dengan egitu, biaya per daerah pun bisa jadi berbeda. Sementara Perpres No. 12 Tahun 2013 menyatakan bahwa tarif yang ditentukan harus sesuai dengan Permenkes.
Dan pihak RS Swasta pun makin sering menolak pasien BPJS, terutama lantaran tidak adanya sanksi yang bersifat mengikat dari pemerintah. Sebab, RS Pemerintah dan bukannya RS Swasta yang diwajibkan untuk menangani pasien BPJS Kesehatan di dalam UU BPJS tersebut.
Tapi, jika kesepakatan tarif telah tercapai, barangkali pemerintah pun akhirnya mampu menciptakan sinergi antara berbagai UU yang terkait:UU Rumah Sakit, UU Kesehatan, UU BPJS, dan UU Praktik Kedokteran sehingga dapat menjadi alat untuk mendorong pihak RS Swasta dalam menangani pasien BPJS.
Menanggapi isu ini, Donald Pardede selaku Dirjen Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa dari total 1.473 RS Swasta yang beroperasi di Indonesia, ada 821 yang sudah bekerjasama dengan BPJS. Dari jumlah tersebut, pihak RS Swasta yang belum mengikuti program BPJS Kesehatan diduga dikarenakan beberapa hal. Misalnya administrasi RS dan akreditasinya. (Red)