
Kab. Rokan Hulu, LensaHukum.co.id – Diwawancarai LensaHukum.co.id beberapa pekan lalu, Ketua BPD Bonai Darussalam, Jefriman menerangkan bila lahan gambut sekira 160 hektar yang terbakar milik masyarakat, sudah di pola KKPA-kan dengan PT. APSL menurut keterangannya, Kebakaran bukan di sengaja oleh warga, tapi oknum lain, kalau kami yang membakar bodoh kalilah, apa lagi sawit sudah berbuah dan di panen ” terangnya, Minggu (04/09/2016).
Ia mengatakan api berasal dari kepenghuluan putat, rohil, karena tiupan angin cukup kencang seperti beliung dan begitu cepat, masyarakat yang berupaya mengantisipasi kalah cepat, sehingga api cepat menyebar ke lahan KKPA yang di kelola Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Desa Bonai.
Jefri juga mengakui sebelumnya juga ada beberapa pertanyaan dari Pemerintah yang turun, seperti ketua DPRD Rohul, dan ketua Komisi l DPRD Rohul, menurutnya seluruh pertanyaan di lontarkan terkesan menyudutkan masyarakat Bonai.
Tahun 2016 ini kami sudah mencoba mengurus perizinan dan di lakukan secara marathon segala persyaratan juga telah kami persiapkan” tuturnya.
Baca Juga : Asyik Berjoget Ria Sekelompok Orang Dianiaya
Jefri mengungkapkan pembukaan lahan KKPA di Jurong Desa Bonai yang di mitrakan dengan PT. APSL sudah di lakukan sejak 2006 silam, pada 2008 dari kuas lahan 5.000 hektar, sekira 2.000 hektar mulai ditanami tanaman kelapa sawit dan tahun ini tanaman sudah berusia 8 tahun dan sudah di panen.
Namun akibat api jalaran dari kepenghuluan putat sejak Minggu (15/08/2016) silam, sekira 160 hektar lahan KKPA masyarakat Bonai ludes terbakar dan panen terancam anjlok di bulan berikutnya. Lahan milik 49 kelompok atau 20 orang perkelompok kini sudah ludes terbakar. Sejak di buka tahun 2006 sampai 2016 baru kali ini lahan kami terbakar, adanya kebakaran ini semua mata tertuju ke kita, setiap yang datang seperti menyalahkan kami” kesalnya.
Sebagai desa penghasil minyak bumi dan gas ( migas), tambah Jefri desa Bonai menjadi perhatian banyak pihak, apalagi daerah ini berada di perbatasan antara Kabupaten Siak dan Rohil, padahal DBH pun mereka tak tahu menahu dan bantuan ADD cukup kecil untuk membangun desa.
Kami tidak pernah menuntut macam macam dari pemda, seharusnya sebagai penghasil migas, kami berhak menuntut sarana kesehatan dan pendidikan” kata Jefri.
Kami tegaskan lagi “lahan tersebut bukan milik PT.Andika walau pola KKPA, baru hasilnya di bagi 30 persen untuk masyarakat dan 70 persen untuk perusahaan” tambahnya.
Baca Juga : Penutupan MTQ Ke 16 Berjalan Dengan Hikmat
Jefri mengakui perizinan terkendala karena kebun mereka masuk dalam kawasan HPT atau kawasan hutan gambut, namun masyarakat bingung karena ada perusahaan di desa tetangga di Rohil yang kedalaman Gambut sampai 12 meter bisa di keluarkan izinya sedangkan lahan KKPA masyarakat Bonai yang punya kedalaman gambut hanya 2,5 meter, justru tidak di beri-izin. Dulunya semasa Rohul masih bergabung di kabupaten Kampar, sekitar tahun 1990-an, bahkan ada dua perusahaan yang di beri izin untuk pengolahan kayu, anehnya sampai perusahaan tidak beroperasi lagi tidak ada juga reboisasi di lakukan. (Sudarno/LH)