LENSA HUKUM – JAKARTA.
Menteri Disnaker membahas secara ringkas tentang penguatan pengawas ketenagakerjaan dengan koordinasi serta kerjasama antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Provinsi.
UU No. 2 Tahun 2015
Hal tersebut disinggung oleh Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, yang menjadi bagian dari penerapan UU No. 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti UU No. 23 Tahun 2014. Menurut Undang-Undang ini, urusan pemerintahan pada bidang ketenagakerjaan pun diamanatkan untuk menjadi urusan bersama antara pemerintah daerah atau pemprov dengan pemerintah pusat. Dengan demikian, kinerja pengawas ketenagakerjaan yang berada di daerah pun dapat diperkuat kembali. Hal ini pun jadi salah satu upaya untuk memperbaiki sistem pengawas ketenagakerjaan nasional.
Di dalam regulasi tersebut, pemerintah pusat memiliki wewenang untuk menetapkan sistem pengawasan serta mengelola para petugas pengawas ketenagakerjaan. Sedangkan pemerintah daerah memiliki wewenang dalam penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan.
Kebutuhan Pengawas Ketenagakerjaan dan Keterbatasannya

foto : UKON FURKON SUKANDA/INDOPOS
Sebenarnya, UU No. 23 Tahun 2014 kembali memperkuat pengawasan ketenagakerjaan di ranah daerah. Dan dengan adanya kerjasama antara pemprov dengan pemerintah pusat, harapannya adalah kembalinya profesionalisme pengawas ketenagakerjaan di daerah. Selain itu, jumlah pengawas yang dibutuhkan pun masih belum tercukupi baik dari segi jumlah secara keseluruhan maupun pemenuhan pengawas ketenagakerjaan yang belum merata di Indonesia.
Keterbatasan maupun hambatan yang dialami misalnya adalah tidak optimalnya aspek pengawasan ketenagakerjaan di kabupaten maupun kota lantaran berbagai faktor. Misalnya kepentingan praktis, keinginan untuk memperoleh PAD, dan menarik investasi. Keterbatasan anggaran pun disinyalir jadi salah satu kendala juga, pun halnya dengan tingginya tingkat mutasi pegawai dan penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan kompetensi.
Solusi yang Ditawarkan
Pihak Kementerian sendiri kemudian mengupayakan solusi dengan menyusun terlebih dahulu peta jalan penataan penyelenggaraan ketenagakerjaan. Dengan begitu, pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan pun perlu disiapkan oleh para kepala dinas bidang ketenagakerjaan di tingkat propinsi dan asisten daerah. Selain itu, inventarisasi P3D (personil, peralatan, prasarana, dan dokumentasi) pun perlu dilakukan, sekaligus dengan masukan untuk menyusun NSPK (Norma Standar Pedoman Kriteria) untuk penyelenggara pengawasan ketenagakerjaan.
Usulan untuk solusi pun datang dari OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia), yang berpendapat bahwa pengawasan ketenagakerjaan merupakan salah satu faktor penting dalam penunjang pelaksanaan hubungan industrial di lokasi kerja yang baik. Dan dengan kualitas pengawasan yang baik, maka masalah hubungan industrial pun akan lebih mudah untuk diselesaikan
Solusi jangka pendek yang ditawarkan adalah mengalihkan pengawas di tingkat kota atau kabupaten ke tingkat propinsi agar dapat langsung bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Kepada Disnaker. Sedangkan untuk solusi jangka panjangnya adalah peningkatan jumlah kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan dengan meningkatkan status menjadi PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) dan pengawas spesialis, yang jumlahnya pun juga minim. (Red)